Manusia dan Simbol-Simbol: Ketika Sains Merangkul yang Spiritual


Awalnya, saya menerima buku ini dengan skeptis. Semasa kuliah, nama besar Freud lebih sering disebut dalam kelas-kelas psikiatri. Walau ia pun terkadang dimasukkan dalam 'kotak usang', dan hanya disebut sebagai bagian dari sejarah perkembangan pengetahuan, yang teorinya sudah dibolak-balik dan dilempar-lempar, ditangkap dan ditolak, dibedah dan disisihkan.

Sedangkan Carl Jung, sedikit sekali yang saya tahu tentang beliau sebelum menerjemahkan buku ini. Beliau murid Freud, itu yang pernah saya tangkap samar-samar. Sehingga saya kira mungkin pendekatannya akan sama dengan gurunya. Di benak saya, sosoknya adalah sosok pragmatis dan kering, atau barangkali pula seorang materialist seperti Freud.

Lalu, setelah beberapa puluh halaman pertama saya tertegun. Suaranya yang keluar lewat buku ini terasa cair dan rendah hati, tidak dogmatis, tidak mengguratkan teori seperti menjatuhkan vonis. Dalam menyampaikan analisisnya, beliau membuka berbagai kemungkinan, menjelaskan berbagai celah di mana kita bisa terpeleset. Beliau merangkul yang berlawanan, memeriksa yang berkebalikan.

Halaman demi halaman berikutnya, saya merasa sedang mengelupas lapis demi lapis diri. Berkali-kali saya harus berhenti, karena merasa belum menemukan pengertian yang tepat, dan ingin memahami lebih jauh tentang pendapat-pendapatnya. Banyak sekali yang saya renungi dan aplikasikan pada pengalaman sendiri ketika menelusuri buku ini, terutama di bagian pembahasan mimpi-mimpi.

Singkatnya, secara pribadi, Manusia dan Simbol-Simbol berpengaruh besar bagi diri saya. Barangkali, karena di sana Carl Jung menunjukkan, bahwa simbol-simbol ada karena manusia terhubung dengan yang numinus, dan penjelasannya tentang bagaimana yang numinus berkelindan dalam segala proses kehidupan, membuat saya merasa bahwa beliau menyajikan sesuatu yang lebih utuh dari sekadar sains.

1 comment