Bukan, bukan malas. Bukan pula tidak ingin. Tetapi tak ada motivasi sama sekali. Saya oke-oke saja berada di rumah, tidak merasa harus menghindar karena suntuk dengan kondisi rumah, misalnya. Bukan, bukan itu masalahnya. Kalau hanya malas dan tak ingin ada di rumah, saya bisa memilih mampir ke tempat lain, main ke kafe, atau mengunjungi teman.
Tetapi, tempat-tempat itu bahkan tak terasa menarik sama sekali. Saya mampir ke Swalayan untuk membeli bahan makanan, dan saya yang biasanya ingin mencoba segala macam, mendadak merasa tak berselera. Makanan yang biasa terasa enak mendadak banyak celanya.
Lihat keripik kentang, yang terbayang rasanya keasinan. Cokelat kemanisan. Pasta tuna kegurihan. Jus stroberi keaseman. Kebab terlalu ramai dan berempah. Pokoknya yang cocok buat saya adalah sesuatu yang anyep dan hambar-hambar saja, agar tidak ada lonjakan sensasi yang akan membuat saya waspada akan perasaan saya. Mungkin begitu penjelasannya.
Buat saya, ini perasaan yang ganjil. Ngambang. Aneh. Seumur-umur, saya tak pernah enggan pulang ke 'sarang' saya. Malas pulang ke rumah sih pernah, kalau keasikan main pas masih kecil/remaja, misalnya. Tetapi, sejak SMA saya di asrama, setelah itu, delapan tahun saya ngekos dan selalu tinggal di sebuah kamar yang ditempati sendirian. Sesepi-sepinya, seberantakan-berantakannya, seancur-ancurnya kamar itu, tidak pernah saya merasa tak perlu pulang. Saya selalu menuju 'sarang' saya dengan mantap, walau ga selalu bahagia. Ya kadang lelah, suntuk, sedih, marah, tapi pulang ke sebuah tempat di mana saya bisa menjadi diri saya selalu saya lakukan tanpa bertanya-tanya.
Ketika beberapa orang tua menangis nelangsa dan merasa anaknya tega karena meninggalkan rumah, saya sering bertanya-tanya, seberat itukah berjauhan dengan keluarga? Saking lamanya saya ngekost sendirian (insert lagu Kunto Aji here 'sudah terlalu lama sendiri...'), ketika sudah menikah, kadang saya ingin punya waktu untuk sendirian. Malah membayangkan nanti akan melakukan ini dan itu, nonton serial anu, baca sampai malam, numpuk snack dan ngemil karena ga perlu masak makanan sehat.
Tetapi, kenyataannya, ketika kawan hidup saya (#tjie) harus pergi selama tiga minggu, begitu pulang ke rumah saya menyapu saja kok terasa nyesek #halah, karena memikirkan biasanya saya nyapu kan biar rumah bersih pas suami pulang. Pas ke swalayan, saya juga mikir, biasanya saya beli ini-itu kan karena mikirin nanti mau dimakan bareng sambil nonton Bing Bang Theory, yang sudah kami tonton berkali-kali, wkwkwk. Intinya, saya ternyata kesepian, sodara-sodara.
Lalu saya teringat cerita seorang perempuan yang datang ke tempat praktek Bu Karyl Mcbride, dalam bukunya, Will I Ever be Good Enough? Perempuan itu merasa tidak tahu hidupnya mau diapakan setelah anak-anaknya beterbangan dengan kehidupannya masing-masing.
Bu Karyl bilang, "tentu saja kamu tidak tahu hidupmu mau diapakan, karena seumur-umur kamu memang tidak pernah memerhatikannya, kamu menyandarkan identitasmu pada peran sebagai ibu." Begitu dia bilang.
Lho memangnya salah merasa bangga dengan peran sebagai Ibu? Tentu tidak dong. Sah-sah saja merasa bangga menjadi Ibu. Sah-sah saja merasa berarti karena kehadiran anak dan keluarga terdekat. Tetapi, sebagaimana setiap peran, it never defines ourselves as a whole. Sama halnya dengan menyandarkan identitas kita pada profesi, misalnya, then what I am, kalau saya tidak lagi menjalani profesi itu?
Ketika sebuah peran berakhir, yang tertinggal adalah diri kita, dan jika kita tidak memelihara hubungan baik dengan diri, maka seolah-olah eksistensi kita akan lenyap ketika peran itu pergi. Seolah-olah keberadaan kita menjadi tidak ada artinya lagi. Seperti saya yang menyapu dan bertanya-tanya apa tujuannya, kalau orang yang saya cintai toh tidak ada di sini? #eaaak.
Tetapi, seringkali, peran yang berakhir itu sebetulnya digantikan peran lain. Misal, ketika sudah pensiun, peran sebagai bos di kantor sekarang beralih menjadi aktivis mesjid, misalnya. Jika kita tidak mendefinisikan diri dengan peran kita, kita sadar bahwa memang sudah saatnya peran sebagai bos itu kita lepas. Bukan eksistensi kita yang hilang dengan hilangnya peran sebagai bos, melainkan hanya perannya saja yang hilang. Kita tetaplah kita, yang bahagia sebagai kita, dan bisa memilih peran berikutnya yang ditawarkan hidup kepada kita. Begitu sih, katanya.
Ya, walau tetap berat sih beradaptasi dengan peran yang baru. Jangankan yang puluhan tahun menjalani hidup dengan peran tertentu, saya yang baru bareng dua tahun dan ditinggal sekian minggu aja jadi kehilangan arah begitu. #tsah. Eh, walau dalam kasus saya itu cuma kangen aja sih. Tapi, memang benar, berpisah dengan sebuah peran itu menyakitkan. Dan bikin gamang. Sehingga kadang, kata artikel yang saya baca di sini, beberapa orang yang mengalami "empty nest syndrome" setelah anggota keluarganya meninggalkan rumah, berusaha berpegang erat-erat pada peran mereka dengan berlebihan. Terkadang dengan guilt trip untuk 'memanipulasi' perasaan anaknya, agar mereka merasa tetap memegang kendali, dan tetap merasa berarti.
Beberapa saja lho, ya. Tidak semua. Tetapi bagi saya pribadi, yang seperti ini patut diketahui. Agar kita nanti saya tidak menggenggam sebuah peran terlalu erat dan merugikan orang-orang terdekat. Karena memang segala sesuatu ada masanya. Selalu ada saat-saat harus melepaskan. Dan rasa sedih itu sangat-sangat manusiawi. Sama juga dengan rasa sepi. Dan, iya, rasa sepi itu nyata. #eaaa. Penting bagi kita untuk memberi kesempatan dan validasi akan perasaan itu, karena ia naluriah semata. Tidak perlu juga berpura-pura bahagia, karena konon itu berat. :p
Tetapi, penting juga untuk tidak memaksakan kehendak hanya karena kesedihan dan kesepian kita. Penting untuk menyadari bahwa ada saat-saat melepas, seberat apapun. Sebagaimana kata Mas Mashdar Zainal tentang pohon salam yang merontokkan daunnya, seperih apapun, marilah kita menjalani titah alam dengan bahagia. Bukankah kata Tere Liye, daun yang jatuh tak pernah membenci angin? #eaaa. #kokjadikesitusih. ;p
No comments