Sakit Saat Pandemi: Soal Stigma dan Rempongnya Nyari Akses ke Layanan Kesehatan.




Tadinya saya nggak berniat menuliskan ini. Selain bakal banyakan curhat, saya juga takut ngomong kasar ga mau nambahin pesimis. Banyak yang jauh lebih berat masalahnya, banyak kisah yang jauh lebih memprihatinkan, yang saya alami hanya seupil dibanding mereka. Selain itu, perjuangan nyari akses ke layanan kesehatan aja udah cukup nguras tenaga, nggak kepikir lah untuk nulis-nulis waktu itu.

Kalau sekarang memutuskan menulis, setelah berlalu sebulan lebih, itu karena udah ga pingin makan orang lebih lega buat curhat, dan siapa tahu ada yang perlu saya catat dan pelajari.

Cerita ini tentang Ibu saya yang sakit, dan sampai sekarang belum ketahuan kenapa, sekaligus curhatan saya menanggapi berita yang ramai 2-3 hari belakangan ini. Cerita ini bakal panjang, karena saya kalau cerita memang susah direm. Kalau mau baca ringkasannya klik di… eh, belum ada ringkasannya dink. Langsung scroll aja, ya.


Kronologi

Cerita ini dimulai sekitaran pertengahan Maret. Ibu saya, yang sejak Agustus tahun lalu sudah mbalik ndesa, sebut saja kampung X, bepergian ke Depok (iya, yang redzone itu) untuk fisioterapi.

Flashback dulu ke Januari, saya sudah khawatir sama Ibu yang masih bolak-balik ke “Jakarta” (anggep aja gitu, ya, kan Depok nempel Jakarta). Maka kami mencoba cari RS di sekitaran kampung X yang bisa memberi layanan fisioterapi, biar Ibu ga bolak-balik dulu. Ada satu RS yang bisa, tapi satu alat ga tersedia, sehingga Ibu saya tetap ke Depok 2x selama bulan Januari dan Februari.

Masuk bulan Maret, saya meminta kepada Ibu agar fisio yang di Depok stop dulu. Tapi, sekitar tanggal 16, eh tahu-tahu blio udah di Depok lagi aja. Hadeuh.

Di Depok, rumah kami merangkap kios di pinggir jalan yang lumayan rame, tiap hari pasti ketemu orang dari berbagai tempat. Kakak saya, yang menjaga kiosnya, hampir tiap saat elap-elap, bersih-bersih, cuci tangan dan kaki sampai kulitnya belah-belah. Tapi ya tetap saja sulit menjaga sepenuhnya.

Tanggal 18 Maret, Ibu saya demam. Seperti biasa, kami minum parasetamol dulu, berharap ini flu biasa atau sakit tenggorokan. Masuk hari ke-3, tanggal 20 Maret, demam masih ada. Sekarang tambah batuk. Oke, saatnya berpikir.

Saya teringat imbauan teman sejawat yang bilang jangan ke dokter dulu kalau ga urgent. Saya juga ingat bahwa di tempat saya (saya tinggal di tempat yang berbeda dengan ibu), kami diimbau untuk konsultasi via telepon dengan dokter keluarga. Dan saya juga sadar bahwa mendatangi faskes 1 (klinik kecil) di Depok, yang pastinya ga punya APD, berpotensi menyulitkan mereka. Pada waktu itu, sumbangan APD belum sebanyak sekarang. Dan sekarang pun mungkin ga banyak yang mau nyumbang sama klinik yang kecil-kecil.

Maka, ibu saya telpon dulu ke klinik langganannya di Depok, menanyakan harus gimana. Admin yang mengangkat. “Oh, diperiksa sama dokter dulu aja, Bu. Ibu langsung datang aja, gapapa,” katanya. Tapi kami masih menunggu, berharap ini sembuh sendiri.

Tanggal 21 Maret, mata kaki ibu saya bengkak. Awalnya saya pikir peradangan, karena ibu juga mengeluh nyeri. Lha tapi kok dadanya juga sesak. Ibu saya sama sekali nggak ada riwayat asma btw. Akhirnya beliau ke dokter. Dikasih obat flu batuk, dan disuruh minta rujukan kalau dalam 3 hari demamnya ga turun.

Tanggal 22 Maret, ibu saya agak enakan, dan jeng jeng jeeeng…. Beliau memutuskan pulkam.

Iya, di titik ini saya mengakui ini bukan keputusan yang bijak. Tapi dilematis juga bagi kami, karena kios di Depok harus tetap buka (dijaga kakak) sebagai mata pencaharian, sedangkan kalau ibu di sana akan terus menerus terpapar dengan banyak orang. Itulah yang menyebabkan beliau lebih memilih pulang ke kampung X.

Saya wanti-wanti agar beliau tidak keluar rumah dulu selama di sana. Ibu-bapak menurut, mereka sama sekali tidak ke mesjid, tidak menghadiri undangan selametan, undangan hajatan, dan lain-lain. Beli bahan makanan pun titip dengan Mbak tetangga yang baik banget.

Pada waktu itu, perangkat desa belum mewajibkan lapor. Tapi saya merasa harus menghubungi pihak setempat. Saya ingin tahu ke mana kami harus berobat, jaga-jaga kalau ibu saya kondisinya tidak membaik. Mengingat pemeriksaan masih disentralisasi oleh pemerintah, saya pikir puskesmas adalah ujung tombaknya, terutama di daerah.

Maka, saya menelepon seorang kenalan perawat yang bekerja di puskesmas kecamatan, sebut aja puskesmas X. Ini puskesmas terdekat, sekitar 3 km dari rumah kami. Saya melaporkan kondisi ibu, plus riwayat dari redzone. Ga pake ditutup-tutupi, ya. Saya inisiatif melaporkan sendiri, ditambah sebuah pertanyaan, “Kalau gejala dan riwayat seperti ini, sebaiknya pemeriksaannya ke mana, ya?”

“Langsung ke RSUD kabupaten aja, supaya tidak heboh,” jawabnya.

Saya langsung menelepon RSUD Kabupaten, maksudnya untuk mendapat informasi, apakah dijemput, datang sendiri, jalur pengobatannya terpisah, atau bagaimana, soalnya kami tidak mau dong kalau sampai menularkan. Tanggal 22 saya telepon 5-6 kali, tidak diangkat.

Tanggal 23 Maret, demam naik lagi, sesak masih ada, bengkak di mata kaki bertambah. Saya telp RSUD lagi, ada kali 10 kali dalam sehari itu, tidak pernah diangkat. Kata ibu saya, “Oh, emang gitu. Dari dulu ga pernah diangkat. Ribet mungkin kalo banyak yang nelepon.”

Hedeh.

Di hari yang sama, Pak RT di Depok memberitahu ibu lewat WA, salah satu warga di tempat kami dinyatakan meninggal karena positif COVID-19. Jarak rumahnya sekitar 500 meter dari rumah Ibu saya di Depok.

Mendengar itu tentu saja saya agak deg-degan. Gimana kalau orang tersebut sempat berbelanja ke kios kami? Saya deg-degannya terutama karena belum menemukan tempat di mana ibu saya bisa memeriksakan diri.

Saya mencari info dan menemukan Pikobar. Di sana ada info tentang  RS Rujukan di Jawa Barat, call center kabupaten, dan program rapid test dari Pak Ridwan Kamil. Sewaktu saya lihat, ternyata RS Rujukan terdekat letaknya hampir 90 km dari rumah kami di kampung X ini. Waduh jauh banget. Baiklah, saya telp callcenter dulu aja, ingin tahu bagaimana alurnya.

Ibu petugas di callcenter ini adalah seorang dokter. Kita sebut saja dokter A. Kembali saya ceritakan gejala dan riwayat perjalanan. Beliau menjawab, “Jangan ke mana-mana ya, ibunya disuruh rumah aja. Jangan keluar rumah, jangan kontak sama orang-orang dulu. Kirim nama sama alamat aja. Besok pagi saya kirim tim saya untuk periksa ke rumah.”

Saya langsung lega. Segera saya beri tahu ibu, tidak perlu cemas, nanti ada yang periksa ke rumah. Ibu dan bapak saya pun tenang.

Dua hari berlalu. Sudah tanggal 25 waktu itu. Pemeriksaan ke rumah belum datang juga. Ibu saya masih demam dan sesak. Saya kontak lagi callcenternya lewat WA. “Yang diperiksa banyak, Mbak. Jadi mungkin belum sempat ke sana.”

Saya pun menunggu lagi. Sambil menunggu, saya daftarkan ibu saya di program rapid test pak RK. Karena kalau dilihat-lihat dari segi usia, gejala, dan riwayat, kok kelihatannya ibu saya masuk kategori  A. Walopun saya tahu rapid test akurasinya dipertanyakan, tapi daripada ga ada sama sekali kan ya, saya coba saja.

Tanggal 26, tetap tidak ada yang datang. Bengkak di mata kaki ibu saya tambah besar, sampai ke betis. Dan sesaknya pun bertambah. Saya tentu saja khawatir.

Bengkak itu bisa berasal dari banyak hal. Tapi pada intinya, kemungkinan yang melintas di kepala saya terbagi menjadi dua hal: peradangan sendi atau penumpukan cairan.

Masalahnya, kalau itu penumpukan cairan, dari mana? Ada sesak pula. Ada beberapa skenario di sini. Saya skip aja karena nanti nambahin panjang. Intinya, salah satu yang memungkinkan adalah gagal jantung. Masalahnya lagi, gagal jantung paling sering karena hipertensi menahun atau penyakit jantung koroner. Ini biasanya terjadi dalam jangka panjang.

Padahal, ibu saya tensinya selalu normal, cenderung rendah, ga ada riwayat penyakit jantung, faktor resiko koroner pun kecil. Lima bulan lalu beliau periksa EKG dan foto thorax, tidak ditemukan kelainan apa-apa pada jantungnya. Masa iya sih sekarang tiba-tiba gagal jantung? Naudzubillahimindzalik.

Yang melintas di benak saya adalah gagal jantung dadakan, alias gagal jantung akut. Ga tau kemungkinannya seberapa besar, tapi bisa jadi ada hubungannya dengan infeksi paru, ginjal, atau sistemik, apalagi ada riwayat demam. Saya sangat mungkin salah (dan harapannya emg salah), tapi untuk mencari diagnosis lain pun tetap membutuhkan pemeriksaan.

Tanggal 27, pemeriksaan yang dijanjikan belum datang. Saya sebetulnya bertanya-tanya. Ini dari callcenter sebenarnya diteruskan ke mana sih infonya? Kalau memang ke puskesmas dan petugas home-visit masih sibuk, apa boleh kami datang sendiri? Kalau tidak boleh, kami harus ke mana?

Saya WA lagi callcenternya, tidak dibalas. Saya telepon, tidak diangkat. Pada akhirnya saya meminta saran pada teman-teman.

“Kalau buatku, itu sudah masuk kriteria PDP,” kata salah seorang teman saya. “Langsung ke RS aja, soalnya butuh periksa ronsen dan darah rutin.”

“Di rumah aja,” kata teman saya yang lain. “Kamu aja yang pantau kondisinya.”

Yang kedua ini saya paham pertimbangannya. Mungkin tidak ingin membebani rumah sakit dengan pasien yang masih bisa dirawat di rumah. Kapasitas rumah sakit benar-benar harus diprioritaskan bagi orang-orang yang membutuhkan. Tetapi, saya tidak mencari rawat inap, saya mencari pemeriksaan, seperti yang disarankan teman saya yang pertama.

Saya kembali menelepon setiap RS yang nomornya bisa saya temukan. Beberapa diangkat, beberapa lagi tidak.

Kenapa sih saya nggak langsung ke RS aja, kok pake nelpon-nelpon mulu?

Karena sadar orang tua saya dari redzone. Walau tidak berharap mereka terjangkit penyakit yang sedang mewabah ini, tapi saya harus sadar diri dan tidak ambil risiko. Saya berharap RS yang saya datangi bisa “siap-siap” dulu kalau mau kedatangan pasien redzone.

Kami akhirnya diperbolehkan mendaftar di salah satu RS yang cukup besar. RS Swasta ya, karena RS rujukan jauh bingits, dan RSUD ga bisa ditelepon.

Kondisi ibu saya saat itu, masih bisa jalan, batuk, napas sesak, demam udah turun. Jadi kami mendaftar ke poli. Kisah di bawah ini berasal dari cerita ibu saya, saya tidak melihat langsung. Beliau ke sana dengan bapak.


Cerita di Rumah Sakit Swasta Anu

Sampai di RS, ibu saya masuk ruang isolasi, menunggu 6 jam, dalam kondisi belum makan, minta izin beli minum tapi nggak bisa, ya udah banyak lah ya cerita kayak gini. (pesan: kalau mau berobat, sebaiknya masukin nasi bungkus ke dalam tas kalian #eh)

“Sebentar lagi kok, Bu, Dokternya bentar lagi datang,” kata perawat yang datang untuk ambil tensi. Perawatnya pakai masker, perisai muka, sarung tangan, dan jubah pelapis (semacam baju bedah).

Ga lama, perawatnya masuk lagi dan bilang, “Suaminya mana, Bu? Namanya siapa?”

Kemudian perawat memanggil bapak saya yang di ruang tunggu. Bapak saya masuk ke ruangan dokter, sementara ibu saya tetap di ruang isolasi.

Selang setengah jam bapak saya sudah kembali menemui ibu, sudah bawa kresek berisi obat di tangannya, dan ternyata…

…beliau mengajak ibu saya pulang.

Eh?

Ga diperiksa?

Iya, nggak diperiksa.

Yang dianamnesis (ditanyai riwayatnya) adalah bapak saya. Ibu saya bahkan nggak ketemu dokternya sama sekali. Dokternya hanya bicara dengan bapak saya di ruangan lain, tanpa melihat ibu saya sama sekali. Saya mau tulis pake huruf besar-besar nih biar afdol:

DOKTERNYA NGGAK NEMUIN PASIEN.

There, I said it.

Sebagai orang yang pernah praktik sebagai dokter, saya awalnya ga mau ngejudge. Mungkin ga ada APD, mungkin dokternya sakit jadi dia takut nularin ibu saya, dan sebagainya.

Tapi, sebentar, tadi perawatnya meriksa Ibu saya pakai APD lho. Kalau memang ada APD, kenapa bukan dokternya yang pakai, ya? Setidaknya kalau sama-sama bisa pakai APD, dokter akan lebih punya kemampuan untuk mendiagnosis dan menentukan tindakan, kan? Eh tapi saya ga tahu lah kebijakan soal ini.

Hanya saja, kalau Pak Dokter ini ga mau ketularan atau ga mau nularin, kenapa mau ngomong sama bapak saya?

Bapak saya juga dari redzone lho. Berkontak dekat dengan ibu, semobil, serumah. Kalau sama-sama berpotensi menularkan kenapa nggak sama pasien aja ngobrolnya, agar ada manfaat yang bisa diambil?

Ketika saya tanya kepada bapak, apa yang dibicarakan dengan dokternya. Kata bapak saya, kurang lebih dokternya bilang gini:

“Bapak kenapa malah ke RS, Pak? Harus diminimalisir kalau nggak perlu. Nanti bisa menularkan. Bapak kan ngerti asalnya dari redzone, kok masih ke sini? Tuh kan, bapak juga ada batuk-batuk. Jangan ke mana-mana dulu ya, Pak, harusnya bapak sama ibu di rumah aja.”

Lho, bentar. Kalau nggak boleh ke RS pas sakit, kami harus ke mana? Wong nunggu pemeriksaan yang katanya mau ke rumah aja ga dateng-dateng lho.

Sungguh saya bingung. Ibu saya sempat bertanya kepada perawat ketika dia berjalan pulang, “Ini saya nggak perlu ketemu dokternya, Sus?”

“Prosedurnya memang pasien harus di ruang isolasi, Bu. Tadi dokternya sudah kasih penjelasan sama bapak ya, Bu.”

“Terus nggak perlu cek lab?”

“Belum perlu, Bu.”

Hee? Lalu ibu saya sakit apa katanya?

Sakit jantung.

Wait. Gimana-gimana?

Saya kaget dong. Kalau memang benar sakit jantung, kenapa nggak diperiksa lebih lanjut? Sakit jantung yang mana nih? Penyebabnya apa? Kan ibu saya nggak punya riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lain? Dasar pemeriksaannya apa kok? Wong EKG aja enggak. Jangankan EKG, pemeriksaan fisik aja enggak. Anamnesis aja enggak.

Dan kalau ibu saya sakit jantung, apa iya disuruh pulang gitu aja?

Edukasinya gimana? Terus demamnya waktu itu karena apa? Bukankah demam ini ada kemungkinan infeksi? Dan mengingat ada gejala saluran napas, memangnya ga perlu ditelusuri kemungkinan infeksi saluran napas? Memangnya ga perlu ronsen untuk memastikan sesaknya bukan karena pneumonia, misalnya?

Saya nggak pingin jelek-jelekin dokter atau RS mana pun. Tulisan ini pun sengaja saya buat setelah emosi saya reda. Saya juga ga mau nyebutin RS maupun dokternya di sini. Yang ingin saya tekankan adalah betapa sulitnya mendapatkan akses kesehatan di saat seperti ini.

Ketika media-media memberitakan “Pasien Tidak Jujur Membawa Petaka bagi Dokter”, “Miris! Puluhan Tenaga Medis Tertular karena Pasien Berbohong”, dan ditimpali dengan reaksi sejumlah dokter yang pake emot nangis “Plis, pasien, yang jujur dong T.T”, pada terpikir kan ya, betapa pasien juga pingin nangis dengan situasi mereka yang serba salah?

Saya paham banget, jadi tenaga kesehatan di masa-masa wajar aja udah susah. Berat banget bebannya. Apalagi di masa ini, setiap hari berhadapan dengan pasien yang tidak pernah kita ketahui berpotensi menularkan atau enggak. Tapi, yuk lah, kita taruh tanggung jawab ini di pundak yang seharusnya.

Sedih akutu lihat Pak Gub-nya yang fokusnya menyesalkan pasien yang berbohong. Dikutip di mana-mana pula. Seolah-olah penularan sebanyak itu semata karena pasien yang berbohong. Banyak mana sih penularannya dibandingkan dari orang yang ga terdeteksi KARENA MAU PERIKSA AJA SUSAH?

Kenapa nggak menyesalkan layanan kesehatan yang belum merata aja, Pak? Atau fungsi callcenter dan koordinasinya sama faskes yang mbuh gimana? Eh sori, saya beda provinsi dink sama Pak Gub yang komen gitu.

Jangan sampe lah kutipan-kutipan seperti itu membuat dokter-dokter yang membaca tambah curiga dan punya pandangan negatif duluan pada pasien. Kasian dong kalau pasien bisa jadi sulit berobat, atau mungkin malah tambah banyak yang menutupi riwayat.

Saya yakin banget teman-teman dokter dan wartawan jauh lebih piawai dalam memberikan edukasi yang berimbang. Setelah melihat berita-berita itu, saya sengaja mencari kanal-kanal yang menyajikan wawancara langsung dengan Profesor Zainal Muttaqin, Sp. BS, guru yang sangat saya hormati, yang banyak diwawancarai terkait tenaga medis RSDK yang terpapar corona dari pasien.

Dalam wawancara itu, saya menyaksikan betapa beliau sangat berhati-hati ketika menjelaskan. Beliau jujur, terbuka dengan kondisinya, tanpa harus menyalahkan. Dengan empati beliau mengatakan, “Wajar pasien itu menutup-nutupi,” beliau menceritakan bagaimana beliau sendiri pun harus berhadapan dengan stigma dari masyarakat. “Saya saja sempat terpikir untuk tidak memberitahu keluarga,” ujarnya.

Beliau dengan sangat rendah hati (ini saya nulisnya sambil nangis), mengatakan bahwa, “Mungkin dari kami juga ada kekurangan, Mbak,” ujarnya. Kemudian menjelaskan bahwa beliau dan sebagian rekan-rekannya yang positif itu bukan tim yang khusus menangani Covid (beliau ahli bedah saraf). Pasien-pasien yang datang kepadanya bukan pasien dengan keluhan Covid. Sehingga, yang saya tangkap, penelusuran ke arah Covid (apalagi pasien tidak bergejala ke sana), barangkali tidak seketat bila pasien itu bergejala. Dalam penjelasannya, beliau tidak pernah terang-terangan menuduh bahwa pasien berbohong.

Yang paling mendekati yang saya dapatkan adalah, “Pasiennya sudah pulang, Mbak. Tapi pulangnya memang pulang atas permintaan sendiri [APS].” Kemudian beliau menjelaskan bahwa mungkin pasien APS karena merasa sempat memberikan keterangan yang tidak benar.

Tapi, lagi-lagi, saya pun tidak mendapati apakah pasiennya betul-betul memberikan keterangan yang tidak benar, atau mungkin memang tidak terbuka karena tidak ditanya, atau dia sesungguhnya sudah terbuka bilang negatif karena memang itu yang dia tahu, atau dia positif hanya berdasarkan rapid test dan belum ada tindak lanjut, misalnya, karena kan kita semua tahu betapa lamanya hasil PCR itu keluar. (salah siapa dong ini?)

Dan btw, yang KONON positif itu orang tuanya, kalau saya tidak salah tangkap. Sedangkan yang dioperasi oleh dokter adalah anaknya (yang kemungkinan tidak menunjukkan gejala COVID). Ini kalau saya tidak salah tangkap, ya. Kalian bisa coba mencermati sendiri berita-beritanya. Soalnya di sana perkara NASIB PASIEN ini tidak terlalu menjadi fokus berita (pokoknya dia berbohong aja).
Kalau anak yang dioperasi itu tertular karena orang tuanya positif berdasarkan PCR (yang saya agak gak yakin sih), udah ada tracing dari pemerintah sampai ke anaknya belum? (sebelum ke RSDK itu.) Oh, mungkin ga perlu kali yaa, kan ga bergejala ya, yang penting meneng o nang omah wes pokoke.

Dan untuk orang-orang yang habis bepergian dari redzone, bergejala ataupun tidak, gimana mau aware kalau mo periksa aja susah banget? Iya tau, yang penting itu lapor aja biar dicatet sebagai angka belaka kemudian isolasi diri. Tapi kalau ada hal mendesak (kayak istri melahirkan, sesak napas, anak kecelakaan, dan sebagainya), dan mengingat ada segelintir tenaga kesehatan yang bersikap seperti dokternya ibu saya, kebayang kan ya kalo pasien mengesampingkan keterbukaannya soal riwayat bepergian? Walau jelas itu bukan tindakan yang bener.

Iya, bohong itu jelas salah. Begitu pula dokter yang NGGAK MERIKSA itu jelas salah. Saya nggak memaklumi tindakan mereka, tetapi saya juga berusaha mengingat bahwa itu tindakan individu. Satu dokter begitu, bukan berarti yang lain begitu. Begitu pula satu pasien begitu, belum tentu kebanyakan dari mereka begitu. Dan yang terpenting, kenapa sih mereka sampai bertindak begitu? Tindakan itu masalah utama atau hanya gejala?

Saya berusaha mengulurkan emosipati pada dokter yang tidak bersedia memeriksa, dengan berpikir bahwa mungkin terkendala keterbatasan APD. Walo harusnya sih kalo kayak gitu mending dia menolak praktek ya, daripada ngecharge pasien hampir dua juta tanpa melakukan tugasnya. Gapapa ya, saya tulis di sini nominalnya, untuk menunjukkan bahwa praktik kayak gini memang ada, walau saya yakin ini hanya segelintir. Jauuuuh lebih banyak guru-guru saya yang humble dan cerdas biangeett, berempati, dan punya integritas. Dan jauuuuh lebih banyak pengalaman saya bertemu dengan dokter-dokter yang baik daripada yang seperti ini. Maka dari itu saya melihat ini sebagai pengecualian, bukan kelaziman. Dan pengecualian ini bisa jadi berakar dari masalah lain yang lebih kompleks.

Nah, maka dari itu, menurut saya, pasien tadi juga perlu dilihat dengan empati yang sama. Situasinya bukan cuma sulit bagi dokter kok, buat pasien juga. Menjadi pasien yang terbebani stigma sekaligus ga tahu harus periksa ke mana itu juga berat lho. Berada dalam ketidakjelasan dan keterkatung-katungan itu kan ga enak to. *cyailah.

Moso iya stigmanya dapet, dijauhinya dapet, keluar duitnya tetep, eh tetapi pemeriksaannya ga dapet. Opo yo ora nyesek? Ya to?

Enggak, kisah ini sama sekali bukan justifikasi untuk menutupi riwayat. Di sini saya memang menempatkan diri sebagai penerima layanan kesehatan yang kecewa. Tapi saya mendingan jujur dan ditolak (lalu nyari akses lain yang lebih baik), daripada bohong dan dapat pengobatan yang nggak tepat. Kalau keterangan yang kita berikan salah, dokter yang baik pun bisa keliru menyimpulkan dan ngasih penanganan yang salah. Emoh dong saya. Jadi tetap #jujurlebihbaik. 

Yah, begitulah curhat panjang saya di postingan kali ini. Intinya adalah… apa ya. Ya pokoke jangan pada salah-salahan yo. Pasien sama dokter ini memang dua pihak yang ketemu langsung, tapi mereka berada dalam sebuah lingkungan dan sistem yang ga bisa dipisahin dari tindakan mereka, mereka ga bergerak sendirian, sama-sama kesandung di sana-sini, sama-sama punya keterbatasan, sama-sama cuma seuprit aja kewenangannya, apalagi pasien dan rakyat jelata kan. Yah pokoknya gitu lah.

Wes pokoke, jangan sedih, karena postingan ini masih lebih panjang lagi. Huahahaha. Ceritanya masih bersambung. Karena mumpung bisa curhat masih ada keanehan lain yang bikin saya mumet terkait perjalanan mencari kitab suci ke barat akses pengobatan ini.


No comments