Sebuah Kenangan: Beberapa hal yang muncul ketika kamu merapikan email



Gais, apakah kalian membaca semua email yang masuk ke inbox? Adakah yang kayak saya, membiarkan ribuan email ga kebaca, sampai yang penting-penting pun jadi tenggelam di lautan junk?

Btw, ini ceritanya bukan email kantor, ya. Email pribadi, tapi yang serius. Yang dipakai buat melamar kerja, daftar organisasi profesi, ngelamar S2, nyuratin dosen, penerbit, daftar bpjs, bank, asuransi, komunitas, dan surat menyurat formal lainnya. Kalau saya, sebetulnya email buat main-main ada sendiri, yang dipakai buat medsos, olshop, dsb, dsb.

Masalahnya, lama kelamaan, batas serius sama main-main itu kok ngeblur ya. :| Alamat email yang serius ini pun pada akhirnya dipakai langganan jurnal, artikel, koran, apotek online, dan entah apa lagi. Email-email yang masuk tidak semua saya baca, tetapi juga tidak saya hapus, karena berpikir suatu saat nanti akan saya butuhkan. Padahal mah, ya...udah delapan tahun ga dibuka-buka, mau buat apa atuh, Ceu Edeeh?

Ketika saya menelusuri perjalanan saya di dunia peremailan alias ga punya kerjaan banget dan akhirnya nyekrolin email sampai tahun 2009, saya mendapati bahwa hidupku duluuu...tak begini, tapi kini tak cukup lagi. (ayo tebak iklan apa?)

Dari hasil penelusuran itu (yang isinya kebanyakan cuma check all, delete, check all, delete), saya mendapati beberapa hal yang membuat pikiran saya menerawang ke masa-masa silam. #cyailah. Pertama-tama, saya melihat perbedaan yang sangat menyolok antara kondisi inbox saya tahun 2009 - 2012 dan 2013 ke atas.

Di tahun 2009 - 2012, isi inbox saya nama orang semua. Orang-orang yang pernah saya temui dan bisa saya kenali wajahnya. Semua email yang masuk saya read tentu saja. Dalam jangka tiga tahun itu, mungkin ada 150++ email yang masuk. Dan saya tahu bahwa email-email itu berkaitan dengan diri saya, perlu dibaca, dan mungkin ada orang yang menunggu balasannya. Walau balesnya juga baru beberapa hari kemudian sih, ada juga yang beberapa bulan, ga kayak sekarang.

Dari tahun 2013 ke atas, makin banyak email dari nama-nama yang tidak saya kenal. Langganan ke forum diskusi anu, artikel inu, jurnal ini, perpustakaan digital itu, newsletter dari himpunan anu, dan lain sebagainya. Jumlah emailnya tentu saja meningkat berkali-kali lipat, ratusan dalam setahun. Tetapi yang bener-bener dibaca cuma seuprit. :|

Balik lagi ke tahun 2009-an. Di tahun-tahun itu, ternyata saya banyak berkorespondensi juga #cyailah. Lucunya, selain untuk melampirkan dokumen dan curhat-curhat yang butuh tulisan panjang, percakapan di email banyak banget yang mirip dengan chat kita di messenger sekarang-sekarang ini.

Isinya kurang lebih:

"Tugas gembel, ga gue revisi."

"Cis, editin."

"Mbak, di tempatmu bisa ngeprint ga?"

"Dek, bisa ambil bahannya di saya sekarang?"

Astaga, kenapa hal-hal kayak gini gak di-whatsapp aja, sih?

Lalu saya menyadari bahwa pada saat itu, sarana bertukar pesan yang utama masih melalui SMS. Kemungkinan besar, buat menghemat pulsa, pesan-pesan itu dikirim selagi kami di warnet atau pas ada wifi gratis, seperti di lobby kampus. Maklum, mahasiswa kere.

Apah, ada yang nanya yahoo messenger?

Ih, da YM juga cuma bisa dipake lewat PC atulaah.

Apah, Blackberry messenger

Saya juga baru pakai tahun 2012 sepertinya. Itu pun dikasih seseorang, yang.... sebaiknya memorinya kita sensor dahulu karena satu dan lain hal.

Balik lagi ke email (duh, saya jadi kedistrak kan), melihat dan membalas email pada saat itu rasanya belum menjadi kebutuhan yang instan seperti sekarang. Internet juga belum 24 jam dalam genggaman. Pada saat itu, kayaknya yang bisa online 24 jam sehari mah da cuma penjaga warnet. Sehari-hari saya cukup pake sms, itu juga yg nlsny dsgkt2 ky gn spy hmt pls.

Hebat juga ya generasi pada waktu itu, mereka belajar berkomunikasi dengan efektif menggunakan sms yang karakternya terbatas, sekaligus belajar memecahkan kode dari kata-kata yang isinya konsonan semua. Hebatnya karena... kok bisa sih ga pada salah paham? :|

Menilik tahunnya, perubahan pola komunikasi lewat internet ini dalam kehidupan saya baru dimulai kurang lebih delapan tahunan lalu, sekitar 2012 - 2013 lah. Belum lama ternyata, tetapi sudah bikin saya lupa gimana rasanya berhari-hari nggak ngecek email, nggak ngecek sosmed, nggak ngecek messenger. 

Dua-tiga tahun sebelum itu saya sudah lulus kuliah, kebutuhan untuk berkomunikasi soal pekerjaan maupun pertemanan tentu saja ada, tidak jauh beda dengan sekarang. Cuma metodenya aja yang beda. Lamaran pekerjaan pertama saya pada waktu itu masih saya kirim langsung ke institusi yang dituju. Ucluk-ucluk dokumennya dibawa, kemudian diserahkan sendiri ke bagian kepegawaian. Kalau diterima, saya ditelepon. 

Berkontak dengan teman-teman pada waktu itu.... hm, sebentar saya ingat-ingat dulu... ya, bener, kebanyakan pakai SMS sih. Tapi seingat saya SMS itu sendiri fungsinya bukan untuk chat ngalor ngidul kayak sekarang di messenger (whatsapp, line, tele). Kirim sms kayaknya sesekali aja, ga jadi thread panjang, kecuali kalau sama seseorang yang...lagi kamu deketin. #ahem. 

Kalau perlu ngobrol panjang, seingat saya biasanya kami janjian. Janjian untuk online di jam sekian, kemudian chat deh di PC... Atau ketika buka facebook dan orangnya online di message, langsung deh disapa dan ngobrol ngalor ngidul. Pada saat itu, rasanya senang kalau tiba-tiba ada yang nyapa pas lagi online. Sekarang? Apah, seen online? MATIKAN! Who can see you online? NONE! Last seen? NOBODY! Read Receipts? TURNED OFF!!

Oemji, baru delapan tahun aja ternyata saya udah berubah sikap terhadap teknologi komunikasi. Tapi, kalau dipikir-pikir, sebenarnya kebutuhan untuk berinteraksinya tetap sama, sih. Melihat dari chat-chat yang selalu saya tanggapi, email-email yang selalu saya read, ada pola-pola yang gak berubah, yaitu, saya cuma berinteraksi dengan orang-orang yang saya anggap real dalam kehidupan. 

Makin banyak kesempatan untuk berinteraksi tidak membuat saya pingin berinteraksi semaksimal mungkin dengan orang-orang. Energi saya ternyata ya cuma segitu-gitu aja untuk ngobrol sama orang lain. Hanya dengan orang-orang tertentu saja saya merasa nyaman untuk ngobrol banyak-banyak. Walau terhubung dengan sekian banyak orang di email, messenger, media sosial, yang benar-benar saya tunggu-tunggu kabarnya ternyata ga sebanyak itu juga. 

Sama halnya dengan informasi, makin banyaknya kesempatan untuk dapat info yang dianterin langsung ke tangan saya, ga membuat saya bisa memaksimalkannya untuk membangun pengetahuan dalam kepala. Intinya, saya ga tambah pinter, ga tambah uptodate tentang hal-hal yang bermakna, meski ada setumpuk jurnal dan newsletter yang saya subscribe. :|

Yang ada, saya makin merasa bingung memilah mana yang penting, dan mungkin melupakan hal-hal yang sebetulnya prioritas.

Saya orangnya termasuk optimis sama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi ga memandang perkembangan ini sebagai sesuatu yang buruk. Hanya saja, sepertinya saya perlu punya cara yang lebih efektif untuk menghadapi perubahan ini. Kalau enggak, saya jadi kewalahan dan menumpuk junk bukan cuma di inbox email, tapi juga di kepala.

Ibarat kata, jika informasi adalah batu bata, semen, pasir, dan segala rupa yang dibutuhkan untuk membuat sebuah bangunan--dan bangunan itu adalah ilmu pengetahuan. Maka, yang saya lakukan selama ini hanyalah menimbun diri dalam pasir, semen, batu bata, gelagapan dan megap-megap, tanpa berhasil membangunnya jadi sesuatu yang berfungsi dengan baik dalam memandu kehidupan, sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan.

Saya teringat sebuah coretan saya di buku farmakologi dulu, setiap mau belajar, saya selalu merasa harus membangun kerangka di kepala, sebelum dapat memasukkan informasi-informasi yang saya dapatkan dari bacaan. Saya bukan orang yang rajin-rajin banget buat belajar, bisa dibilang saya tipe yang SKS sebelum ujian. Tapi, ketika membaca materi kuliahan, saya hampir selalu bikin kerangka sebagai panduan. Dan kalau dipikir-pikir, inilah yang membedakan cara saya mengolah informasi antara dulu dengan sekarang.

Kayaknya, gara-gara merasa gampang dan bisa baca kapan saja di mana saja, saya cm baca, atau lihat sekilas, atau bahkan cuma subscribe doang, dan tanpa sadar pada akhirnya cm ngumpulin junk di mana-mana. :|

Harapannya mah, dengan bersihin email, kepala saya jadi ikutan bersih juga gitu. Siapa tau, kan. Sebagai fansnya Marie Kondo, selain sambil nostalgia, saya yakin decluttering email juga bisa bikin hidup lebih enteng. #tsah. 

9 comments

  1. Mau jawab : Itu iklah scott emulsion, Tan. Lanjutannya, "Kuminta kubesar tambah tinggi, scott emulsion kutumbuh besar. " #yedibahas


    Aku suka tulisan ini btw, bikin aku berpikir untuk decluttering email dan hal-hal sampah lainnya. Tapi biasanya hanya wacana dan mereka akan terus menimbunku dengan jutaan informasi yang mungkin hanya nol koma sekiannya saja aku butuhkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku kok ngehnya "Kupintar kubesar tambah tinggi"... ish selama ini ingatan aku salah ternyata. #lanjutinbahas

      Itulah, Tan. Aku juga decluttering tetapi ga tahu bakal bertahan berapa lama. Sama kayak beres-beres rumah, baru seminggu aja kok udah berantakan lagi ya :|

      Delete
  2. emailku yang isinya akun dan olshop-olshopan itu ga aku otak-atik sama sekali. junk bertebaran di mana-manaaa...
    kalo liat akun pribadi kayak gitu rasanya baru keisi dikit sm notif lowker misalnya, udah mau auto delete :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ih, kok keren sih. Berarti akun pribadimu bersih dong? Aku harus minta rahasianya ini. Ingetin ya nanti kalau kita ketemuan.

      Delete
  3. " Itu pun dikasih seseorang, yang.... sebaiknya memorinya kita sensor dahulu karena satu dan lain hal.."

    sebenernya kelanjutan kisah di titik2 itu lebih relevan dari tema ini, ayo tulis dong! ahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. autoistigfar saya sebelum nulisnya wkwkwkwk.

      Delete
  4. Aku pernah beberapa saat rajin cek email untuk unsubscribe sesuatu yang pernah kusubscribe (kebanyakan kalo nyari freebies ini) dan itu seriusan bikin nggak sumpek banget.
    Emailku kayaknya nggak banyak menyimpan memori sih, tapi aku suka banget perumpamaan soal pasir, semen, dll untuk jadi bangunan. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, iya. Pada akhirnya aku unsub-unsub, Mal. Tapi entah ini bakal bertahan berapa lama. Sejauh ini aman dan masih enteng XD

      Delete