Ini giliran saya menulis challenge hari kelima, tetapi topik kelima agak berat buat saya dan perlu ditulis dengan pikiran yang lebih fokus. Walhasil saya tuker aja, nulis topik keenam dulu, tentang menjadi single dan bahagia.
Tetapi sebelumnya, saya harus jujur bahwa saya nggak single saat menulis ini. (Walau tentu pernah single selama berpuluh-puluh tahun kehidupan #eh). Maka dari itu, saya merasa perlu meminta maaf dulu jika apa yang saya tulis agak-agak bias atau tampak mengentengkan permasalahan, karena, jujur saja, pada saat saya jomblo dahulu, tidak pernah terpikir di kepala saya bahwa single dan bahagia adalah dua hal yang perlu dipertentangkan.
Dibesarkan di desa kecil di mana kawan-kawan saya menikah sejak lulus SMP bahkan SD, tentu saya bisa merasakan ekspektasi dari keluarga dan lingkungan untuk menikah dengan segera. Kakak saya menikah di usia belasan, saya lupa berapa, mungkin 17 atau 18, dan itu adalah sesuatu yang umum di tempat kami.
Orang tua saya pernah mengatakan kepada seorang kerabat, bahwa mereka hanya mengikuti keinginan anak-anaknya, kalau anaknya ingin sekolah, ya silakan sekolah, kalau mau menikah, ya silakan menikah. Tapi, bukan berarti mereka nggak pernah menyindir, membandingkan, menyelidiki diam-diam, memberitahu secara halus, secara tajam, secara gerilya, menggunakan kode morse, semaphore, sandi rumput, dan sebagainya soal kesendirian saya di usia yang pada waktu itu lebih dari seperempat abad.
Pada intinya, ekspektasi dari lingkungan dan keluarga itu ada. Dan di usia dua puluhan (yang membuat keluarga besar saya bertanya-tanya apakah saya normal karena ga punya pacar), saya pun berpikir bahwa suatu hari nanti saya memang perlu menikah demi alasan kewajaran. Tetapi, jauh dalam hati, saya pada waktu itu adalah seseorang yang menyangsikan pernikahan. Sekali lagi, maafkan jika ini ofensif bagi sebagian orang. Tetapi saya bukan seseorang yang memandang pernikahan dalam kacamata yang romantis dan membahagiakan. Walau kini sudah sadar bahwa pandangan saya pada saat itu tidak sepenuhnya benar.
Barangkali karena pandangan itu pula saya tidak terlalu mempermasalahkan kesendirian. Jujur saya nggak pernah punya pacar yang bisa dikenalkan ke rumah di usia remaja. Zaman SMP saya pernah menyetujui ajakan berpacaran, satu kali, karena penasaran, tapi kok rasanya awkward, saya nggak tau apa yang harus saya lakukan sehingga saya memutuskan untuk putus ga ada seminggu kemudian. Nyebelin banget ya. :| SMA dan masa-masa awal kuliah pun saya nggak berniat untuk punya pacar, terlalu sibuk dengan diri sendiri mungkin, atau ga ada yang mau sama saya. Wakakakak.
Ga dink. Ada lah kalo yang nyatain suka, pedekate, ngajak serius, dan sebagainya. Tapi, seperti pernah saya katakan di postingan sebelumnya, saya termasuk orang yang lempeng dan clueless dalam perkara emosional. Sepertinya saya nggak paham apa yang harus saya lakukan ketika menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman.
Di satu sisi, ini adalah salah satu kelemahan saya. Ketidakmampuan ini membuat saya harus meraba-raba dalam membangun kedekatan emosional. Di sisi lain, hal ini bisa jadi menguntungkan karena membuat saya tidak melihat kesendirian sebagai sesuatu yang menyedihkan. Apa ya, intinya, nggak merasa bahwa untuk bahagia harus punya pasangan, gitu lah singkatnya.
Tapi, kalo naksir mah ya tentu saja pernah, sering malah, wwkwkwk. Kalau sekadar suka-sukaan, sejak SD saya punya seseorang yang saya sukai, sampai bertahun-tahun kemudian. Saya senang ngobrol sama dia, senang kalau bisa bareng-bareng, kagum, dan sebagainya. Tapi, sewaktu orang ini menyatakan perasaannya saat SMP, saya menolaknya, padahal saya sukaaaa. Jadi saya ini kenapaaaa T.T *lho malah curhat.
Kalau dipikir sekarang, saya menolak ya karena ga tahu itu tadi, ga tahu mau ngapain kalau pacaran. Hahaha. Entahlah, saya takut mungkin, takut mengecewakan, takut bikin sakit hati satu sama lain ketika putus wkwkw. Jadian aja belum, udah mikir putus. Yaelah payah banget ya saya dulu. Ya, namanya juga masih naif, polos, dan lugu. *pret
Jadi begitulah, clueless soal kedekatan emosional, ditambah menyangsikan lembaga yang namanya pernikahan, membuat saya ga terlalu mempermasalahkan status single. Sebaliknya, saya jadi fokus memperjuangkan hal lain yang menurut saya lebih pasti, pada saat itu. Seperti target, tabungan, cita-cita, pekerjaan, dan sebagainya. Kalau kamu pernah nonton Drama Korea yang judulnya Because This is My First Life, anggap saja saya seperti Nam See Hee, yang otak kirinya cuma berisi tagihan, otak kanannya kucing.
Lantas apakah saya bahagia? Jujur saya merasa baik-baik aja. Kadang bahagia, kadang enggak, tapi faktor penentunya bukan ke-single-an itu. Bahagia mah ya bahagia aja, sama halnya ketika sekarang sudah menikah, kadang bahagia kadang sedih, dan seringnya itu ga berhubungan dengan status pernikahan.
Jadi kalau ditanya soal single dan bahagia, saya tidak merasa bahwa yang satu merupakan variabel dependen dari yang lain dengan kata lain ga berhubungan. Menurut saya mah bahagia dan sedih datang silih berganti dalam kehidupan, entah kamu single atau menikah, entah kamu sun go kong atau biksu tong, entah kamu nobita atau doraemon. Bahagia ga perlu nunggu nikah, dan kesedihan juga ga bakal ilang semata-mata dengan ilangnya status single.
Single, menikah, tidak menikah, berpisah, sendiri, berdua, bertiga, berempat, datang sepaket dengan permasalahan dan kebahagiaannya sendiri-sendiri. Tiap pilihan udah ada porsi manis, pahit, asem, asinnya sendiri-sendiri. Tinggal minta sama Yang Maha, biar dikasih kekuatan dan ketentraman batin saat menempuh jalan mana pun yang dipilihkan-Nya buat kita.
Tumben bijak gini. *elap ingus
writing challenge day #5
ReplyDeleteAkhirnya kebayang mau nulis apa tentang tema ini setelah baca tulisan Tan Sis. Karena ya singleku udah belasan abad yang lalu, jadi lumayan lupa rasanya hahahaha...makasih inspirasinya, Taan.
ReplyDeletePada waktu itu kalau nggak salah masih zaman kerajaan Sriwijaya atau Kutai Tarumanegara gitu kan, Tan? Wkwkwk.
Deleteini yang bikin judul abis putus cinta apa yaaa... single dikaitkan ke happy. hahahhaa
ReplyDeleteHahahaha. Bener juga, mungkin asalnya untuk menyemangati yang lagi sedih.
Deletenjenengen ini ternyata bener2 lucu
ReplyDeleteAslinya pemalu, kok. #eh
DeleteSetuju. Single sama Happy kayak dua hal berbeda yang ya jalan masing-masing, gak berhubungan.
ReplyDeleteYang kadang papasan, kadang enggak, ya, Mal. :D
Delete