Tentang Kepribadian Saya

Setelah berbulan-bulan membiarkan blog bulukan, dengan draft-draft yang ga pernah selesai karena tiap mau nulis kepotong ina-inu, tiba-tiba saja saya kembali dengan postingan tentang.... apah? Kepribadian?

Ini sungguh ga nyambung dengan dua post sebelumnya (yang saya janjiin bakal bersambung). Tapi mau gimana lagi, pada akhirnya tema inilah yang menggerakkan saya buat nulis lagi. Lebih tepatnya, tema yang tercantum dalam sebuah writing challenge--yang bakal saya ikuti, insyaAllah, selama 30 hari ke depan. Dan siapa lagi yang ngomporinnya kalau bukan tante-tante kece kesayangan saya, heru, dan fia... alias tan gi.

Jadi okelah kita mulai saja 30 hari ke depan dengan ngomongin tentang... kepribadian saya.

Jangan ilfil dulu, ya. Saya tahu ini bukan postingan informatif. Tapi ga informatif bukan berarti ga inspiratif lho... eaaa. padahal nulisnya sambil leyehan di kasur

Yah, sejujurnya, nulis tentang diri sendiri itu buat saya emang ga ada tujuan biar informatif atau pun inspiratif sih. Mungkin ini salah satu tulisan yang, seperti kata temen saya, dibikin to express, not to impress. Jadi ya, gitu, isinya tentu saja bakal banyakan curhat (ya emang biasanya juga begitu).

Misalnya aja, pertama-tama, saya harus bilang bahwa kepribadian saya ini terbagi ke dalam dua periode yang ditandai oleh serangan negara api. Di masa-masa negara api menyerang, kehidupan saya mengalami berbagai pergolakan. Untuk mengurangi kadar curhat, mari kita sebut saja pergolakan itu dengan nama Perang Diponegoro.

Sebagaimana perang pada umumnya, Perang Diponegoro juga ga berlangsung hanya sekejap, tetapi bertahun-tahun. Saya menandai permulaannya di awal 2010, dan berakhir di sekitar tengah 2018 lah. Anggap saja begitu. Walau pasti ada area-area penumbra di masa sebelum 2010 dan setelah 2018, tetapi officialnya begitu lah ya. 

Di tahun-tahun itu saya ga ngerti deh kepribadian saya gimana. Namanya masa transisi, pada saat itu rasanya kepribadian saya ga benar-benar stabil. Ya sekarang juga ga stabil-stabil amat sih. Jadi, kepribadian yang mau saya omongin adalah sebelum 2010, dan setelah 2018. Di mana saya merasa pikiran saya lebih terang, dan paling enggak, ingatan saya bisa lebih diandalkan.


SEBELUM 2010

Saya sebelum 2010 itu bisa disimpulkan dalam beberapa kata: logis, rasional, pekerja keras, ga bisa seneng-seneng, tegas, judes, kaku, goal-oriented, perfeksionis, tapi suka nangis kalau baca novel atau nonton drama.

Logis atau rasional itu gimana sih, bukannya tiap orang pasti punya aspek logis dan rasional ya? Manusia kan makhluk yang berpikir? Iya sih, itu bener. Tapi saya pada saat itu lebih cenderung ke saklek. Kalau nggak bisa dilogika, ya ga ada ruang untuk dipertimbangkan. Perasaan? Meh... merepotkan saja. Itulah saya dahulu.

Soal goal-oriented, ini dibuktikan dari saya yang punya deposito dari SD. Zaman dulu saya boleh punya tabungan atas nama sendiri walau belum punya KTP. Sebelum tidur, saya suka berkhayal, bagaimana jika saya depositokan uang saya sampai 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun? Berapa banyak duit saya nanti setelah umur 20? Apakah cukup buat bikin kos-kosan? Biar ga usah kerja berpayah-payah. Tinggal jadi juragan yang nagihin aja tiap bulannya.

Benih-benih khayalan itu dimulai sejak SD. Di masa-masa tepat sebelum krismon, ketika tivi-tivi banyak menayangkan lagu "Aku Cinta Rupiah, walau dollar di mana-mana...", yang ada Titik Puspanya juga kalau ga salah. Saat itu saya sudah punya tabungan yang lumayan, hasil ngumpulin angpau lebaran bertahun-tahun.

Sampai saya kuliah, cita-cita itu ga berubah. Kayaknya orang tua saya sukses mengenalkan konsep "biarkan duit yang bekerja buatmu", milikilah deposito dan kos-kosan biar hidupmu tenang. Sungguhlah propaganda yang merasuk jiwa.

Tapi, cita-cita lain juga ada. Goal saya bertambah seiring berjalannya waktu.Di usia 16, saya udah deg-degan nanti mau kerja apa, tinggal di mana, apa nanti ada orang yang mau nikah sama saya, kalau enggak, berarti saya harus siap punya mata pencaharian yang bisa diandalkan, dan sebagainya, dan sebagainya. 

Di usia 20 tahun, rencana saya lebih detail lagi. Dua tahun lagi saya akan lulus sarjana, dan masih ketambahan koass 2 tahun lagi. Kalau mau lulus, saya harus bikin tugas akhir, dan tugas akhir ini meliputi penelitian. Masalahnya, penelitian butuh duit, dan saya harus memastikan tabungan saya ga berkurang gara-gara itu. Jadi, satu tahun sebelum orang-orang ribet sama skripsi, saya udah nyari-nyari dosen mana yang bisa saya tebengin untuk penelitian.

Kalau dipikir-pikir sekarang, semua itu bukan karena saya pingin-pingin amat, melainkan karena saya ga punya safety net kalau gagal.

Yah, panjang lah ceritanya mah. Tapi, intinya, kepribadian saya yang seperti itu terbentuk dari kehidupan yang saya jalani sejak kecil, yang membuat saya merasa harus sepenuhnya mengandalkan diri sendiri, sebisa mungkin tanpa bantuan orang lain.

Saya ga bakal bilang prinsip itu bagus atau jelek. Yang jelas pada saat saya ngejalaninnya, saya merasa baek-baek aja dan cenderung keren. Tapi sekarang, saat saya melihat ke belakang, saya cenderung bilang kepada diri sendiri, "ih ga asik banget idup lu dulu". Begitulah. Orang emang suka berubah-ubah pendapat, tergantung dari mana dia memandang.

Kemudian, fast forward ke tahun 2010, sekitar 10 bulan sebelum saya lulus, negara api menyerang. Terjadilah Perang Diponegoro. Semua rencana-rencana yang saya susun berantakan. Saya masih maksa lanjutin hidup dengan pola yang udah saya susun dengan saksama sejak 2006, saya dorong diri saya sekuat tenaga buat maksa ngelawan arus yang kayaknya mau menghanyutkan saya ke arah yang berlawanan, ke arah chaos, yang ga bisa saya kendalikan, bahkan ga bisa saya bayangkan. Tapi sia-sia.

Mungkin itulah yang namanya "kun", ketika Tuhan sudah bersabda, "terjadilah", maka terjadilah. Sekuat apa pun saya melawan.


SETELAH 2018

Nah, kita skip ke 2018, setelah Perang Diponegoro selesai. Serangan negara api mengajarkan kepada saya bahwa pepatah lama benar adanya, manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan. Makanya, biar ga nyesel, hepi-hepi jugalah selagi bisa, terutama dengan orang-orang tersayang, agar nanti, mbuh rencanamu terlaksana atau tidak, paling enggak kamu punya kenangan yang baik selama menjalani tahun-tahun yang menyenangkan bersama orang-orang terdekat.

Singkatnya mah begitu.

Kepribadian saya sekarang mungkin cuma bisa disimpulin nanti, oleh si saya bertahun-tahun ke depan, jikalau ada umur, aaamiin. Tetapi sepertinya sekarang saya lebih selow, mencoba lebih menikmati kehidupan, mencoba lebih considerate sama perasaan orang lain (meski mungkin masih sering banyak gagalnya), mencoba puas dengan rencana yang samar-samar atau bahkan kayaknya ga punya rencana. Huweee. Yah, saya masih belajar sih, banyak hal yang beda pasca Perang Diponegoro, tapi satu hal yang saya sadari, sepertinya...sepertinya sih, saya pada saat ini merasa bisa lebih terhubung dengan orang lain.

Oh, dan satu hal yang ga berubah, saya juga masih tetap nangis saat nonton tivi, saat lihat iklan, saat baca buku, dan lain sebagainya.

Demikianlah postingan hari ini.

13 comments

  1. Tulisan ini dibuat dalam rangka writing challenge, dan berhubung udah beberapa kali orang-orang pada bilang di post sebelumnya, kok ga bisa komen sih di blog kamu... jadi aku mencoba untuk komen di blogku sendiri. :D

    Ngetest ceritanya.

    ReplyDelete
  2. Tan, aku ketemu kamu di fase apa itu? Tapi aku yakin sebelum atau pun sesudah Perang Diponegoro, kamu tetap pribadi yang menyenangkan, hangat, membumi. Bukan hanya untuk aku, tapi untuk banyak orang. Senang sekali bisa kenal dan dekat dengan, Tan Sis 🥰

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fase perang diponegoro, Tan. Waktu itu aku masih jadi kudanya �� makasih banyak, Tan Gi... Aku pun, senang sekali bisa mengenalmu, tan :')

      Delete
  3. Tansissss, jaman SD pemikirannya udah deposito coba... aku SD - Kuliah aja masih ga mikir hidup kedepan mau gimana dan gak punya tabungan sama sekali wkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Efek dibesarkan di masa krismon, Muf. Wkwkwk.

      Delete
  4. wahhh aku ngebayangin kalau ketemu tansis di 2010 bisa-bisa kita nggak berteman. soalnya nggak bisa diajak main... hahahhaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tahun 2010 waktu itu kamu masih SMA kaaaan. Diajak main lah klo itu mah, soalnya masi dedek2 gitu. Ga tega akunya. Wkwkwkw

      Delete
  5. Untuk aku kenal Tansis pas sudah ja
    selow ya. Kalau tidak, bisa2 sekali ketemu langsung sungkan buat ketemu lagi 😂.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ish kamu ketemu pas aku udah selow aja tetap susah kalo mau ketemuan. Apalagi klo kenalnya pas aku masih serem yak. Wkwkwk

      Delete
  6. keren ya ternyata dirimu ini, hidup sudah terencana semenjak muda belia dan sebatang kara, saya justru fokus pada kalimat:
    ""biarkan duit yang bekerja buatmu", milikilah deposito dan kos-kosan biar hidupmu tenang"

    lhoo malah punya kos2an sgala coba ckckck

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cita-cita mulia, kaaan. Wkwkwk. Sayangnya belum terlaksana. Huahaha.

      Delete
  7. Wah, aku penasaran sama Tansis sebelum Perang Diponegoro, punya pemikiran yang benar-benar jauh ke depan. Hehe. Tapi di luar kekagumanku, aku selalu mikir "Kapan gue bisa ketemu ni oraaaang?" Hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ih, kok pikiran kita sama sih. Kapan kita ketemu, Maaal.

      Delete