Tentang Sahabat


Salah satu yang saya sesali dari diri sendiri adalah ketidakmampuan untuk menjaga komunikasi. Setelah berjauhan, berpisah jalan, pindahan, lulusan, dan sebagainya, saya sering kehilangan kontak dengan orang-orang yang sebelumnya merupakan sahabat dekat.

Sewaktu masuk SMP, saya pindah kota. Masuk SMA, saya harus tinggal di asrama. Dan waktu kuliah, lagi-lagi pindah kota. Setiap ganti sekolah, tidak ada satupun teman dari sekolah yang sebelumnya. Dan saya tidak pandai menjaga komunikasi dengan teman-teman lama. Awalnya tentu saja masih telepon, sms, email-emailan panjang dsb. Tetapi setelah itu, bahkan dengan adanya friendster, facebook, IG, dan lain-lain, tetap saja jarak fisik tidak bisa dijembatani begitu saja.

Jadi, kalau berbicara tentang pertemanan, bagi saya di setiap tempat, setiap fase, selalu ada sahabat tempat berbagi suka dan duka, yang akan selalu saya ingat sebagai sahabat, walau saya telah kehilangan kontak atau tidak bisa sedekat dulu karena begitu banyak hal yang kami lalui tanpa saling berkabar. Mereka tetap sahabat yang berarti bagi saya, yang membuat tiap fase kehidupan menjadi lebih ringan dan berwarna buat dijalani. Akan tetapi, yang saat ini menjadi sahabat tempat berbagi sambatan, recehan, gosipan, ketubiran, dan cecurhatan seputar problematika dekade ketiga kehidupan, memang sebagian besar bukan mereka yang saya kenal sejak lama. 

Meski begitu, saya sendiri percaya, ada orang-orang yang nggak perlu kenal sekian lama untuk bisa merasa cocok. Misalnya teman yang ngajakin saya nulis challenge ini, alias TanGi, yang begitu dua detik ketemu udah langsung bikin saya nyeritain masa lalu. Curhat apa sih kita waktu pertama kali ketemu, Tan? Wkwkwkw.

Begitu pula dengan Fia, Reni, Mahli, Mia, perkenalan kita kayaknya baru... Emm... Enam tahun? Udah lama juga ya, ternyata. Kedekatan kami awalnya gara-gara suka menulis dan membaca. Walau Fia udah lahiran buku berkali-kali, sementara saya seringnya ngabisin waktu buat bengongin cabe.

Dengan merekalah saya bersambat dan berbagi ketubiran di kala penat, gosipin drakor dan bahas karakternya satu persatu (ini baru berjalan beberapa bulan, karena saya baru ketularan ngedrakor tengah taun ini), cerita tentang hal-hal yang nggak bisa diceritakan kepada orang lain, bagi-bagi meme lucu dan video/foto kucing, ngobrol dari hati ke hati, ngakak bareng, misuh bareng, dan berbagi banyak hal yang kami jalani.

Selain itu, sahabat paling lama yang masih kontakan sampai sekarang adalah teman-teman semasa kuliah. Dengan mereka pula saya berbagi banyak hal, mimpi-mimpi, struggle, sambatan, recehan, gosipan, dan ina-inu lainnya seputar kehidupan.

Bagi saya, mereka semua adalah sahabat. Orang-orang yang tanpa kehadirannya saya akan merasa kesepian. Ya memang masih ada keluarga, kakak, suami, ibu, bapak, sepupu, keponakan, dan sebagainya, tetapi sahabat selalu memiliki arti khusus bagi saya. Nah, ngomong-ngomong soal arti sahabat ini, suatu hari saya pernah bertanya kepada Pak Suami. Awalnya hanya ngobrol-ngobrol biasa soal lingkar pertemanan yang semakin mengecil di usia yang bertambah tua dewasa ini. Hingga tercetus pertanyaan, "Emang sahabat itu buat kamu kayak gimana sih?" atau yang semacamnya.

Beliau menjawab, "Buatku, yang aku anggap sebagai sahabat itu ya orang-orang yang bantuin aku di saat susah."

Iya, beliau emang pragmatis. Konon sih karena capricorn. Tapi kayaknya Heru sama Tangi enggak gitu deh. :D Tapi meski begitu blio emang setia dengan definisinya. Dia juga orang yang dengan serta merta akan membantu ketika orang-orang yang dianggapnya sahabat mengalami kesulitan. Bantuan yang dimaksudnya biasanya bantuan konkret, kayak bantu tenaga, bantu mengantar, bantu pindahan, bantu mencarikan ini dan itu, bantu urusan administratif, dan sebagainya, walau mereka bukan teman yang sering ngobrol, chat-chatan main bareng, komunikasi, dan lain-lain. Persahabatan, buat Pak Suami, didefinisikan dengan tindakan membantu satu sama lain, koneksi emosional itu urusan belakangan.

Sementara, saya tipe yang sebaliknya. Buat saya, persahabatan itu terbangun karena koneksi emosional, bantu-membantu seperti itu urusan kesekian. Atau mungkin, bantuan itu buat saya lebih berarti dalam bentuk telinga untuk mendengar, dalam bentuk ketawa bareng-bareng, empati, pelukan hangat, dan penerimaan.

Ada satu lagi yang buat saya menjadi ciri khusus sebuah persahabatan. Tentang ini, saya teringat To Room 19 karya Doris Lessing. Bu Lessing ini penulis perempuan dari Inggris. Bukunya yang pernah saya baca sebenarnya buku tentang kucing, berisi tiga cerita tentang...kucing, tentu saja. Sedangkan To Room 19 belum beranjak dari wishlist ketika sebuah drama korea yang saya tonton sekitar sebulanan lalu menyinggung tentang isinya. Di sana, Ji Ho, tokoh utama di film itu, berkata kurang lebih seperti ini.

"Pada waktu membaca buku itu, saya masih muda. Saya tidak mengerti mengapa si istri lebih memilih berbohong tentang kamar nomor 19. Ia memilih untuk mengatakan bahwa di sana ia berselingkuh dengan seseorang ketimbang mengungkapkan yang sebenarnya."

Apa yang sebenarnya terjadi?

Tokoh utama dalam buku itu ingin memiliki ruang bagi dirinya sendiri. Pernikahan, yang membuat diinya secara konstan berada di samping seseorang terus-menerus, membuatnya ingin bisa menikmati waktu sendirian sesekali. Tanpa siapa-siapa. Sang suami sebetulnya pernah membuatkan ruangan untuknya di dalam rumah mereka, tetapi, setiap saat siapa pun bisa masuk dan mengetuk. Suami dan anaknya mulai keluar masuk ke sana dan pada akhirnya ruangan itu pun menjadi 'milik umum'. Karena itulah sewaktu-waktu ia menyewa kamar di sebuah hotel. Kamar nomor 19, yang ia kunjungi berkali-kali tanpa sepengetahuan keluarganya, hanya untuk menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri.

Kemudian, Ji Ho melanjutkan.

"Kini aku paham mengapa ia melakukannya. Ada kalanya kau lebih memilih mengatakan kebohongan yang mudah dimengerti, daripada dianggap gila karena menjelaskan sesuatu yang tidak akan dimengerti orang lain."

Ji Ho, di film itu, memilih mengatakan kebohongan tentang alasannya berhenti bekerja sebagai penulis; yaitu karena ia sudah jadi istri orang. Alasan itu membuat orang kebanyakan memaklumi dan tidak bertanya lebih lanjut. Begitu pula temannya (lupa namanya), ia memilih mengatakan dirinya hanya suka kencan dan tidak suka hubungan jangka panjang karena ya, dia bitchy aja. Dan alasan itu kayaknya lebih dimaklumi orang daripada dia harus menceritakan kisah hidupnya yang kompleks.

Saya merasa sering melakukan hal seperti itu tanpa disadari. Mencari alasan yang lebih mudah dimengerti orang lain agar tidak perlu menceritakan kisah sebenarnya yang bagi saya sendiri aja terlalu njlimet. Tetapi, kepada sahabat, saya merasa bisa mengungkapkannya. Saya merasa diperkenankan untuk menceritakan alasan-alasan yang mungkin aneh dan nggak masuk akal itu, saya merasa diterima untuk bercerita panjang lebar tentang sesuatu yang masih perlu saya urai.

Makasih banyak ya, kalian semua. Dan maapin diriku yang suka curhat panjang lebar ini. XD 
Sehat dan bahagia selalu buat kalian!


1 comment